Sejarah Komisi Pemilihan Umum
Era 1945 - 1955
Sejarah pembentukan badan independen untuk menyelenggarakan pemilu pertama kali pasca kemerdekaan tahun 1945 telah dipersiapkan dengan nama Badan Susunan Komite Nasional Pusat (BPSKNP) dan di tingkat daerah disingkat dengan Cabang BPSKNP. Badan ini disahkan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1946 dengan keanggotaan dari wakil-wakil partai politik dan ditetapkan presiden serta dipersiapkan sebagai penyelenggara pemilu untuk memilih kekosongan keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada dasarnya, BPSKNP dibentuk untuk menyelenggarakan Pemilu 1946 untuk memilih anggota KNIP. Namun karena alasan situasi politik, rencana Pemilu 1946 batal dilaksanakan.
Struktur organisasi BPSKNP tidak berumur lama seiring gagalnya rencana Pemilu 1946. Untuk selanjutnya disahkan UU Nomor 27 Tahun 1948 tentang pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk memilih anggota DPR, dipersiapkanlah suatu badan penyelenggara pemilu yang disebut Kantor Pemilihan Pusat (KPP) dengan jumlah anggota sekurang-kurangnya 5 orang untuk masa kerja 5 tahun. Pada tingkat provinsi dibentuk Kantor Pemilihan tingkat provinsi dan pada tingkat kabupaten dibentuk Cabang KP. Pada tingkat kecamatan dibentuk Kantor Pemungutan Suara (KPS). Seiring perubahan politik nasional dari RIS ke RI dengan UUDS, rencana pemilu untuk memilih anggota DPR juga mengalami perubahan. Perubahan politik nasional juga berdampak pada disahkannya UU Nomor 7 tahun 1953 tentang pemilihan Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Dengan disahkannya UU tersebut, UU Nomor 27 Tahun 1948 tentang pemilihan anggota DPR menjadi tidak berlaku.
Selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1953 dibentuk badan yang bertugas sebagai penyelenggara pemilu tahun 1955, yaitu Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang berkedudukan di pusat, Panitia Pemilihan (PP) pada tingkat provinsi dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kabupaten. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 orang dan sebanyak-banyaknya 9 orang dari wakil-wakil partai politik dan unsur pemerintah dengan masa tugas 4 tahun. Pada masa ini, konsep lembaga pengawas pemilu tidak dikenal atau belum diterapkan. Proses pengawasan sangat tergantung dari peran partai politik dan calon mereka serta mengandalkan peran masyarakat sebagai simpatisan partai politik.
Mengacu model keanggotaannya, PPI adalah EMB mixed model karena komposisi keanggotaannya campuran antara wakil partai dan pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri. PP tingkat provinsi dibentuk oleh presiden namun diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman. Sedangkan PPS tingkat kabupaten dibentuk oleh gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri. Struktur keorganisasian/kesekretariatan PPI, PP, dan PPS adalah unsur Kementerian Dalam Negeri.
Era 1955 - 1969
Setelah Pemilu 1955 hingga 1959 dan berlanjut hingga pertengahan 1960-an, membuat desain penyelenggara pemilu berubah. PPI sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat tetap, tidak bekerja efektif. Periode ini merupakan periode transisi dari kegiatan Pemilu tahun 1955 hingga akhir 1960-an. PPI yang semula dipersiapkan untuk melaksanakan Pemilu 1969 batal bekerja karena situasi politik tidak memungkinkan.
Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dibuatlah rencana pembentukan badan penyelenggara pemilu yang permanen yaitu Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Pembentukan LPU ini diperkuat melalui Keppres Nomor 3 Tahun 1970. Keanggotaan LPU mewakili 3 unsur kekuatan pemerintah yaitu Menteri Dalam Negeri selaku ketua LPU dan anggota/ dewan kehormatan yang juga mewakili unsur pemerintah. Dengan demikian, LPU mewakil model penyelenggara pemilu pemerintah (government model).
Struktur organisasi LPU secara hierarkis berada di tingkat nasional yang dinamakan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), tingkat Provinsi dibentuk Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), Kabupaten/Kota dibentuk Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II), tingkat Kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara Kecamatan (PPS), tingkat desa dibentuk Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), dan tingkat TPS dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dalam desain sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat tetap, LPU dibantu kesekretariatan di Provinsi, Kabupaten/Kota yang berasal dari pegawai negeri jajaran Kementerian Dalam Negeri. Secara umum, tugas dan kewenangan LPU adalah: membuat perencanaan dan persiapan pemilu, memimpin dan mengawasi panitia-panitia di Pusat dan daerah; mengumpulkan dan mensistematisasi bahan dan data hasil Pemilu; dan mengerjakan hal-hal lain untuk melaksanakan pemilu.
Struktur LPU yang tetap (permanen) didasarkan pada Keppres Nomor 7 Tahun 1970 dengan kepemimpinan Mendagri Letjen TNI Amir Machmud sebagai ketua merangkap anggota; Menkeh Prof Oemar Senoadji sebagai wakil ketua merangkap anggota; Menpen Laksamana Muda Budiardjo sebagai wakil ketua merangkap anggota; Menkeu Prof Ali Wardhana, Wapangab M Panggabean yang posisinya mewakili Menhankam/Pangab, Menhub Drs Frans Seda, dan Menlu Adam Malik sebagai anggota.
Dalam mempersiapkan pemilu 1979, LPU dibantu kesekretariatan yang tugasnya adalah merencanakan dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk administrasi pemilu. Sekretariat LPU dipimpin oleh sekretaris umum (sekum) yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Sekum LPU adalah Mayjen TNI Soenandar Prijosoedarmo dibantu seorang wakil sekretaris umum (wasekum) yaitu Kol Inf Erman Harirustaman. Sedangkan personalia sekretariat LPU diambilkan dari pegawai Depdagri, Depkeh, Deppen, Dephankam, Depkeu, dan Biro Pusat Statistik.
Era 1970 - 1998
Selama periode 1970 - 1998 dilangsungkan enam pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) dengan peran LPU sebagai penyelenggara pemilu. Sebagaimana diketahui, dasar hukum LPU adalah Keppres Nomor 3 Tahun 1970. LPU dipersiapkan untuk menyelenggarakan Pemilu 1971. Struktur organisasi LPU secara hierarkis adalah Panitia Pemilihan Daerah Provinsi (PPD I), Panitia Pemilihan Daerah Kabupaten/ Kota (PPD II), tingkat Kecamatan (PPS), desa (PPP), dan tingkat TPS (KPPS). Model penyelenggara pemilu yang diadopsi melalui LPU adalah government model karena pembentukan dan komposisi keanggotaan diisi oleh pejabat-pejabat pemerintah. Peran pemerintah tetap dominan karena pengisian keanggotaan LPU dan jajaran operasional pelaksana penyelenggara pemilu di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/ desa dipegang unsur pemerintah.
Proses keanggotaan LPU diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Tidak ada seleksi terbuka seperti model penyelenggara pemilu independen yang diseleksi dari calon-calon non-partisan secara demokratis dan terbuka. Ketua dan Sekretaris Jenderal LPU ex officio Menteri Dalam Negeri dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri. Kesekretariatan juga diisi jajaran birokrasi pemerintah atau militer, sedangkan kesekretariatan LPU dan PPD I, PPD II inheren dipegang pejabat pemerintah dari jajaran kementerian dalam negeri di daerah. Mereka bertugas merencanakan dan mempersiapkan segala hal teknis dan administratif untuk mendukung pelaksanaan pemilu. Begitu pula badan pengawas pemilu diisi unsur pemerintah, yaitu kejaksaan, kepolisian, dan unsur masyarakat.
KPU Periode 1999 - 2001
Menjelang pelaksanaan pemilu multipartai pasca Orba tahun 1999, eksistensi LPU sebagai penyelenggara pemilu tidak dapat dipertahankan lagi. Peran LPU digantikan oleh KPU yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 16 Tahun 1999. Landasan hukum KPU untuk menyelenggarakan pemilu multipartai tahun 1999 adalah UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Semangat menyelenggarakan pemilu berbasis multipartai berdampak terhadap desain keanggotaan KPU. Keanggotaan KPU diisi wakil-wakil dari 48 Partai Politik Peserta Pemilu dan 5 orang mewakili pemerintah. Lima orang wakil pemerintah ini diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Presiden dari PNS dan Masyarakat Sipil, yaitu Adnan Buyung Nasution, Andi Alifian Mallarangeng, Affan Gaffar, Anas Urbaningrum, dan Oka Mahendra. Keanggotaan wakil-wakil partai dalam struktur KPU bersifat langsung sebagai wakil kepentingan partai politik peserta pemilu. Komposisi demikian menggambarkan bahwa KPU masuk dalam kategori party-based EMB atau mixed model. KPU periode tersebut diketuai oleh Rudini yang mewakili partai politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie.
Untuk melaksanakan keputusan KPU pada tingkat nasional dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang diketuai oleh Jacob Tobing dari PDI Perjuangan sedangkan anggotanya juga berasal dari wakil partai dan pemerintah. Pada tingkat provinsi dibentuk Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Tingkat I, dan pada tingkat kabupaten/kota dibentuk Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Tingkat II. Mekanisme pembentukan KPU, PPD Provinsi, dan PPD Kabupaten/Kota untuk mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu 1999 dilakukan dengan melibatkan unsur kepala negara, DPR, dan kepala daerah. Untuk calon KPU diusulkan Presiden untuk mendapat persetujuan DPR, untuk calon anggota PPD Provinsi diusulkan oleh gubernur untuk mendapatkan persetujuan KPU, untuk calon PPD Kabupaten/ Kota diusulkan bupati/walikota untuk mendapat persetujuan PPD Provinsi. Pembentukan Panwaslu beserta anggotanya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, pembentukan Panwaslu Provinsi beserta anggotanya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi setiap provinsi, dan pembentukan Panwaslu Kabupaten/Kota beserta anggotanya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setiap kabupaten/kota.
Untuk mendukung tugas dan kewenangan KPU dan Panwaslu secara administratif, teknis dan operasional, dibentuk sekretariat di masing-masing penyelenggara pemilu ini. Dalam hal ini, KPU dibantu Sekretariat Umum KPU, KPU Provinsi dibantu Sekretariat KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dibantu Sekretariat Kabupaten/Kota. Begitu pula dengan Panwaslu dibantu Sekretariat Umum Panwaslu, Panwaslu Provinsi dibantu Sekretariat Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota dibantu Sekretariat Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwascam dibantu Sekretariat Panwascam. Masing-masing jajaran sekretariat tersebut diisi pegawai sekretariat yang berasal dari pegawai negeri sipil.
KPU Periode 2001 - 2007
Dasar hukum pembentukan KPU periode tersebut adalah Pasal 22E ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Keppres Nomor 10 Tahun 2001. KPU periode 2001-2007 tersebut bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat KPU yang nasional ini mencerminkan bahwa penyelenggaraan pemilu yang menjadi tanggung jawab KPU mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan sedangkan para anggota KPU terikat pada masa jabatan tertentu (5 tahun). Sifat mandiri menunjukkan KPU bersifat independen, yaitu menyelenggarakan pemilihan umum tidak berdasarkan tekanan atau intervensi lembaga lain melainkan semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Jumlah anggota KPU periode 2001 - 2007 sebanyak 11 orang yang berasal dari unsur akademisi dan LSM yang dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tanggal 11 April 2001. Keanggotaan KPU periode 2001-2007 adalah sebagai berikut: Prof. Dr. Nazarrudin Sjamsuddin sebagai ketua dan anggota dari Universitas Indonesia; Prof. Ramlan Surbakti, Ph.D. sebagai Wakil Ketua dan anggota dari Universitas Airlangga; Dra. Valina Subekti, MA; Dr.Chusnul Mariyah, MA; Dr. Hamid Awaluddin, SH., MH; Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, SH; Imam Prasojo, Ph.D.; Mulyana Kusumah, SH; Dr. Muji Sutrisno, SJ, Drs. Anas Urbaningrum, MS; dan Drs. Daan Dimara sebagai anggota. Penetapan keanggotaan KPU tersebut dilakukan melalui proses berikut: berdasarkan masukan Mendagri, presiden mengajukan sebanyak 22 daftar nama calon kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Mekanisme penetapan keanggotaan KPU ini belum melibatkan tim seleksi calon anggota KPU. Walaupun demikian, KPU yang dipersiapkan menjadi penyelenggara Pemilu 2004 memiliki komposisi keanggotaan yang mencerminkan independensi karena diisi oleh kalangan akademisi yang merupakan figur-figur non-partai dan imparsial.
Produk hukum penting yang keluar setelah pembentukan KPU untuk masa kerja 2001 - 2007 adalah UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Imam Prasaja dan Muji Sutrisno kemudian mengundurkan diri satu bulan setelah UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mulai berlaku. UU ini menjadi landasan KPU untuk penyelenggaraan Pemilu 2004. Ada empat hal penting yang diatur UU ini yaitu mengenai jumlah anggota KPU, syarat-syarat menjadi anggota KPU, mekanisme seleksi anggota KPU dan hubungan tugas dan kewenangan antara KPU dengan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan hubungan antara KPU dan Panitia Pengawas Pemilu.
Jumlah anggota KPU ditetapkan sebanyak-banyaknya 11 orang, KPU Provinsi sebanyak 5 orang, KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 orang. Sedangkan syarat-syarat menjadi anggota KPU mencakup syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum mencakup: calon harus WNI, setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan cita-cita proklamasi, memiliki integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil, berkomitmen dan berdedikasi terhadap suksesnya pemilu, demokrasi dan keadilan, warga negara yang memiliki hak pilih, sehat jasmani dan rohani. Syarat khusus mencakup kualifikasi calon yaitu memiliki kemampuan kepemimpinan dan memiliki pengetahuan memadai tentang sistem kepartaian, sistem dan proses pelaksanaan pemilu, dan sistem perwakilan rakyat.
Seleksi dan penetapan keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilakukan melalui proses berikut. Gubernur membentuk Tim Seleksi Keanggotaan KPU Provinsi. Tim Seleksi ini kemudian mengajukan 10 nama calon anggota KPU Provinsi melalui gubernur kepada KPU. KPU memilih 5 dari 10 nama itu menjadi anggota KPU Provinsi. Bupati/Walikota membentuk Tim Seleksi keanggotaan KPU Kabupaten/Kota. Tim Seleksi ini kemudian mengajukan 10 nama calon melalui bupati/walikota kepada KPU Provinsi. KPU Provinsi memilih 5 dari 10 calon untuk diajukan kepada KPU untuk mendapatkan penetapan.
Kewenangan pembentukan Pengawas Pemilu melekat pada KPU, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota. Keanggotaan Panitia Pengawas Pemilu terdiri atas tiga unsur, yaitu kalangan masyarakat (LSM, akademisi, praktisi hukum), Kejaksaan, dan Kepolisian. UU tersebut juga menyatakan bahwa Panitia Pengawas Pemilu bertanggung jawab kepada KPU, demikian pula secara berjenjang Panitia Pengawas Provinsi, Kabupaten/Kota bertanggungjawab pada yang membentuknya.
UU Nomor 12 Tahun 2003 menjadi sumber hukum bagi KPU dan Panwaslu untuk menyelenggarakan pemilu dan melakukan pengawasan tahapan Pemilu 2004. Melalui UU Pemilu ini dijalin pola hubungan tugas dan kewenangan antara KPU dan Panwaslu. Pola hubungan tugas dan kewenangan antara KPU dan Panwaslu dipertemukan melalui Pasal 25, 122, dan 130. Pasal 25 mengatur tugas dan kewenangan KPU, yaitu:
- Merencanakan penyelenggaraan pemilu;
- Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan pemilu;
- Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksana pemilu;
- Menetapkan peserta pemilu;
- Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
- Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara;
- Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
- Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu; dan
- Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Sedangkan tugas dan kewenangan Panwaslu dalam melakukan pengawasannya dijabarkan pada Pasal 122 yaitu:
- Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu;
- Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu;
- Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilu; dan
- Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.
Substansi tugas dan kewenangan KPU yang dirinci pada Pasal 25 mengharuskan KPU untuk menyelenggarakan semua tahapan pemilu secara konsisten sesuai dengan undang-undang yang memiliki kepastian hukum. Sebagai konsekuensinya, jika KPU dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya ketika menyelenggarakan pemilu bertentangan dengan Pasal 25, maka KPU dianggap telah melakukan pelanggaran pemilu. Dalam hal terjadi pelanggaran pemilu, tugas dan kewenangan Panwaslu adalah menerima laporan pelanggaran pemilu pada setiap tahapan pemilu yang diajukan oleh warga negara yang terdaftar sebagai pemilih, pemantau, dan peserta pemilu. Hasil laporan ini menjadi kajian Panwaslu dan Panwaslu wajib meneruskan temuannya kepada KPU.
KPU Periode 2007 - 2012
KPU periode tersebut dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota akademisi, peneliti, dan birokrat yang dilantik pada tanggal 23 Oktober 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketua KPU periode ketiga adalah Prof. Abdul Hafiz Ansyari. Keanggotaan KPU ketiga ini dilakukan melalui seleksi terbuka oleh Tim Seleksi Keanggotaan KPU yang terdiri atas lima orang dari berbagai universitas negeri di Indonesia. Kelima anggota Tim Seleksi ini sama sekali tidak memiliki keahlian dan/atau pengalaman mengenai Pemilu. Tim Seleksi Keanggotaan KPU yang dibentuk Presiden SBY mencoret semua calon yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU dan mengajukan 14 nama calon kepada DPR melalui Presiden. Komisi II DPR kemudian memilih 7 nama calon untuk ditetapkan oleh Presiden sebagai anggota KPU. Kalau keanggotaan KPU periode 2001 - 2007 diisi oleh para akademisi (sebagian besar Ilmuwan Politik) dari berbagai universitas negeri di Indonesia, keanggotaan KPU periode 2007 - 2012 diisi oleh kalangan PNS dari berbagai unsur keagamaan (seperti Muhammadiyah, dan NU). KPU ketiga dipersiapkan menjadi penyelenggara Pemilu 2009.
Mekanisme pencalonan anggota KPU periode 2007 - 2012 berbeda dengan pembentukan KPU sebelumnya. Calon anggota KPU tidak diusulkan oleh presiden kepada DPR untuk mendapat persetujuan tetapi melalui seleksi terbuka oleh Tim Seleksi yang dibentuk oleh presiden. Tim Seleksi diketuai oleh Prof. Dr. Sarlito Wirawan, bertugas melakukan seleksi khusus calon anggota KPU yang terdiri dari kalangan independen dan non-partisan. Sesuai ketentuan, Tim Seleksi menyerahkan 14 nama calon yang lolos seleksi kepada presiden. Selanjutnya Presiden mengajukan 14 nama tersebut kepada DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Tahap terakhir, DPR memilih 7 nama calon untuk ditetapkan sebagai komisioner KPU.
Produk hukum penting yang disahkan DPR dan pemerintah mendahului masa kerja KPU periode 2007 - 2012 yaitu: UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU Nomor 22 Tahun 2007 mendeskripsikan secara rinci mengenai:
- Tugas dan kewenangan KPU dengan Sekretariat KPU serta menyajikan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antara Bawaslu dan Sekretariat Bawaslu/ Panwaslu.
- Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu disebut sebagai organ yang berwenang memberi sanksi berupa pemberhentian bagi penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
- Ada alur mengenai hubungan tugas dan kewenangan KPU dan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu.
- Bawaslu memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penyelesaian sengketa pemilu.
KPU Periode 2012 - 2017
KPU periode tersebut dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 34 Tahun 2012 untuk masa jabatan lima tahun. Ketua KPU periode tersebut adalah Husni Kamil Manik S.P., dengan anggota Ida Budhiati S.H., M.A., Sigit Pamungkas S.IP., M.A., Arief Budiman S.S., S.IP., Drs. Hadar Nafis Gumay, Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, S.IP., M.Si., dan Juri Ardiantoro M.Si.. Lima dari 7 anggota KPU ini adalah anggota KPU Provinsi selama dua periode, sedangkan satu orang berasal dari pendidikan tinggi dan satu orang lagi dari LSM Pemilu.
Anggota KPU periode tersebut merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh Tim Seleksi yang dibentuk presiden dengan keanggotaan mewakili unsur akademisi, masyarakat, dan pemerintah. Tim Seleksi ini juga bertugas melakukan seleksi calon anggota Bawaslu. Nama-nama Tim Seleksi KPU dan Bawaslu periode 2012 - 2017 adalah Menteri Dalam Negeri sebagai ketua, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai wakil ketua, Direktur Jenderal Politik sebagai sekretaris, Prof. Ramlan Surbakti, Ph.D., Prof. Azumardi Azra, Prof. Saldi Izra, Prof. Pratikno, Ph.D., Imam Prasojo, Ph.D., Dr. Valina Subekti, Dr. Siti Zuhro, dan Anis Baswedan, Ph.D. sebagai anggota. Karena kritik dan desakan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, maka Mendagri, Menkumham, dan Dirjen Politik secara sukarela menyatakan tidak aktif dan tidak ikut dalam pembuatan keputusan mengenai seleksi keanggotaan KPU dan Bawaslu. Delapan anggota yang tersisa kemudian secara aklamasi menunjuk Prof. Ramlan Surbakti, Ph.D. sebagai ketua. Ketua bertugas memimpin sidang, menawarkan agenda kerja kepada Rapat Pleno untuk mendapat persetujuan, dan menjadi juru bicara Tim Seleksi Keanggotaan KPU dan Bawaslu.
Sebelum KPU masa jabatan 2012 - 2017 bekerja, Pemerintah dan DPR menetapkan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 2007 dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU bersifat nasional berarti tidak hanya wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah NKRI tetapi KPU yang dibentuk pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan panitia pelaksana pada tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dan TPS merupakan bagian dari dan bawahan KPU. Diantara KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Panitia Pelaksana terdapat hubungan hierarkis. Karena bersifat hirarkis, maka tanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan Pemilu adalah KPU. KPU yang bersifat tetap berarti KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan (Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2011) tetapi para anggota KPU terikat pada masa jabatan 5 tahun. Frase ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa KPU bersifat nasional dan tetap karena kompleksitas tugasnya dalam mengelola urusan pemilu DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wakil Presiden, dan pemilu Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dan akhirnya, KPU bersifat mandiri berarti dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU tidak berada dibawah tekanan, intervensi, dan pengarahan dari lembaga atau kekuatan lain, melainkan menyelenggarakan Pemilu semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur Pemilu.
Sumber: Surbakti, Ramlan; Kris Nugroho. 2015. Studi Tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif. Jakarta. Kemitraan